Samosir di Indonesia
Kalau orang Yunani di Efesus punya agora, orang Batak Toba di Samosir (kemudian juga orang Batak Toba di seluruh dunia) juga punya kawah sendiri untuk berdialog, berdiskusi, adu argumen atau setidaknya untuk “say hello”, yakni lapo tuak. “Lapo” adalah kedai/warung seperti warung kopi. Mungkin seperti Starbucks, Coffee Bean atau Kedai Kopi Ong yang terkenal itu. (Hahaha …) Tempat-tempat yang kerap Saya jauhi karena sudah lumrah menjadi tempat nongkrong sekaligus latihan pecah rekor Nyisip Kopi Terlama yang Pernah Ada. (Saya kurang tahu apakah sudah ada event organizer yang pernah menggagas lomba semacam ini). Betapa tidak, secangkir kopi seharga Rp 40 ribuan bagi seorang karyawan dengan upah dua juta-an per bulan. You know-lah, that’s not like drinking mineral water. Semoga kita sepakat dalam hal ini.
Jika diperhatikan, maka aktifitas berbicara-mendengarkan-berdiskusi di agora ini sangat mirip dengan acara “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul) di lapo–lapo yang sejak dulu menjadi tempat berkumpul kaum bapak di Samosir. Umumnya di zaman masyarakat Toba yang patriarkhis kental ini, kaum ibu lebih memilih untuk diam di rumah atau melakukan kegiatan lain daripada menjadi gunjingan.
Bedanya adalah seperti namanya percakapan di antara para gentleman Batak ini biasanya menjadi semakin hangat berkat adanya minuman tradisional beralkohol yakni tuak. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya, mungkin nanti bisa jadi bahan penelitian untuk tugas akhir mahasiswa Batak yang siap-siap duduk lagi di semester-semester berikutnya. (Hihihi … ) Seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.
Budaya diskusi orang Batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi memang menunjukkan ciri yang sama: Meminum tuak menjadi pemandangan umum pada malam hari, antara lain lantaran iklim daerah-daerah tersebut yang dingin.
@lihat di artikel lain
Kalau orang Yunani di Efesus punya agora, orang Batak Toba di Samosir (kemudian juga orang Batak Toba di seluruh dunia) juga punya kawah sendiri untuk berdialog, berdiskusi, adu argumen atau setidaknya untuk “say hello”, yakni lapo tuak. “Lapo” adalah kedai/warung seperti warung kopi. Mungkin seperti Starbucks, Coffee Bean atau Kedai Kopi Ong yang terkenal itu. (Hahaha …) Tempat-tempat yang kerap Saya jauhi karena sudah lumrah menjadi tempat nongkrong sekaligus latihan pecah rekor Nyisip Kopi Terlama yang Pernah Ada. (Saya kurang tahu apakah sudah ada event organizer yang pernah menggagas lomba semacam ini). Betapa tidak, secangkir kopi seharga Rp 40 ribuan bagi seorang karyawan dengan upah dua juta-an per bulan. You know-lah, that’s not like drinking mineral water. Semoga kita sepakat dalam hal ini.
Jika diperhatikan, maka aktifitas berbicara-mendengarkan-berdiskusi di agora ini sangat mirip dengan acara “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul) di lapo–lapo yang sejak dulu menjadi tempat berkumpul kaum bapak di Samosir. Umumnya di zaman masyarakat Toba yang patriarkhis kental ini, kaum ibu lebih memilih untuk diam di rumah atau melakukan kegiatan lain daripada menjadi gunjingan.
Bedanya adalah seperti namanya percakapan di antara para gentleman Batak ini biasanya menjadi semakin hangat berkat adanya minuman tradisional beralkohol yakni tuak. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya, mungkin nanti bisa jadi bahan penelitian untuk tugas akhir mahasiswa Batak yang siap-siap duduk lagi di semester-semester berikutnya. (Hihihi … ) Seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.
Budaya diskusi orang Batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi memang menunjukkan ciri yang sama: Meminum tuak menjadi pemandangan umum pada malam hari, antara lain lantaran iklim daerah-daerah tersebut yang dingin.
@lihat di artikel lain
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Yunani vs batak
dengan judul Yunani VS Batak. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://pakpahan-hutaraja-opdimpuan.blogspot.com/2018/07/yunani-vs-batak.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Op Dimpuan Pakpahan - Rabu, 04 Juli 2018
Belum ada komentar untuk "Yunani VS Batak"
Posting Komentar